Selasa, 03 Februari 2015

Gadis dalam Secangkir Teh



Gadis dalam Secangkir Teh
Oleh: Imam MJ

                Hehe… daun mulai kebasahan, dahan, tangkai dan bunga tampak segar. Baluran air mengucur sehat menyusup ke sela – sela setiap pohon di sekeliling rumah. Hmm… aroma kopi membius hidung menyusup mengendap – endap mencuri kantuk dan merontokan mimpi membangun inspirasi. Maklum saya saat ini bekerja sebagai kolumnis di media masa interlokal. Sripiiiit. Fyuh… hangatnya kopi melengkapiku sebagai seorang penulis. Ya walaupun pemula mudah – mudahan istiqomah.
            Detak jarum jam serta taktik penyusupan sinar mentari mulai membobol pelatran rumah yang tepat menghadap timur. Merah telur memudar menjadi merah kekuning – kuningan. Hangat berkamuflase menjadi panas yang menyibak jendela rumah mendorong jarum jam hingga ke pukul 09.00 wib. Tak terasa waktu perlahan meninggalkan ide – ide nakalku. Tulisanku baru satu paragraph deadline mangacungkan pisau diujung detik jam.           
            Kopiku habis. Sudahlah. Tulisanku juga mau habis, tak usah ku buat lagi kopinya. Tutut tutut, ada SMS. Pasti dari kantor. Pikirku.
Ja, bsa k skolahn sya gk?
Sender : Pak Imron
082123456987
Hehe. Ternyata SMS dari kantor lain.
Bisa pak.
Sender : Mija R.
087744469050
            Tak perlu piker panjang, ku lipat komputerku dan ku buang sisa – sisa kopi yang pahit yang masih enggan meninggalkan cangkir batikku. Pak Imron adalah seorang guru Bahasa Indonesiaku sewaktu saya duduk di bangku SMP Plus AL – HILAL. Gas langsung aku tancapkan. Biar motor belum lunas yang penting Ikhlas.
            Akhirnya nyampe juga di SMP Plus AL – HILAL. Ah, aku coba telpon saja beliau. Saat saya mau mengeluarkan Hand Phone, ada perempuan menawarkan senyumnya dan ia mencoba menyulam sebuah kata untuk aku sambut dengan senyum dan jawaban pula tentunya.
“ Nyari Pak Imron ? “ katanya.
“ I..iya “ jawabku dengan gemetaran lembut di sela – sela dadaku.
“ Kata beliau, tunggu ja di kantor. Nanti saya panggilkan “
“ Gak usah, nanti saya tunggu ja sampe jam Istirahat “
“ Hehehe… Udah Istirahat, baru aja masuk. Inikan jam 09.30 “
“ Owh. Iya aku lupa “. Gila perubahan senyum menjadi tawanya membuat gemetaranku semakin kencang dan ingin sekali aku bertanya siapa sih kamu?. Dalam hatiku
“ Ya udah saya panggilin dulu, lagi pula beliau juga berpesan kalau ada mas Mija suru manggil. “
Ada… Busyeet dia tau nama saya. Siapa sih dia? Dalam hati kecilku.
“ Loh kok Ibu tahu kalau nama saya Mija ?? “
“ Ya itukan di saku bajunya ada ID Card “
Alamak, saya lupa. Gaswat ni bro kok guwe salting gini sih. “ heheheh… iya ya. “
“ Ya udah mas saya panggil bapaknya dulu. Oh iya gak usah panggil Ibu panggil ja Mba Ifa, saya kan lebih muda dari mas Mija “.
Ku jawab dengan saja dengan senyuman. Akhirnya ia pergi. Gila ngadepin gadis aja sampe basa kuyup kaya gini. Tapi memang benar – benar manis tu gadis. Huh… andai saja saya punya kesempetan bisa kerja di sini sebagai Staff TU atau mengajar saya mungkin bisa mengikat hatinya dengan sebuah cerpen. Hehehe…
            “ Assalamu’alaikum ja ? “
            “ Wa’alaikum salam pak “ Loh kok gak sama gadis itu sih datangnya. Kataku dalam hati sambil menyahuti salamnya.
            “ Giman kabarnya? Oh iya ganggu kerjaanya kamu gak nih ? “
            “ Alhamdulillah baik pak. Oh, kebetulan pak kerjaan saya udah selesai. Ngomong – ngomong ada apa pak manggil  saya kesini ? “
            Tiba – tiba gadis itu datang mengantarkan dua cangkir teh. Loh kenapa gak kopi yang ia bawa, padahal saya berharap bisa ngopi bareng sama guru saya. Idep – idep nostalgia.
            “ Gini ja, kebetulan sekolah ini mau mengadakan kegiatan pengayaan untuk kelas Sembilan. Gimana kamu mau bantu bapak gak soalnya tenaga pengajar untuk pengayaan sisawa kelas Sembilan itu kurang. Kamu bisa ngisi materi Bahasa Indonesia, lagi pula kamukan sekarang sudah jadi penulis pasti sedikit – sedikit ngertilah tentang ilmu bahasa. “
            “ Oke siap pak “ jawabku tak perlu pikir panjang. Soalnya nanti saya bisa deketi gadis itu.
            “ O iya pak, sekarang bapak minum teh? Padahalkan bapak dulunya seneng banget sama kopi “
            “ Hehehe… semenjak ada Ifa, staf TU yang tadi mengantarkan teh tuh. Saya jadi lebih tertarik dengan teh. Thenya ia bawa langsung dari daerahnya terus juga rasanya beda. Kata Ifa sih ia petik sendiri dan meracik sendiri jadi pantaslah kalau rasa manis dan legit. Kaya orangnya. Hahahaha. “
            “ Emang dia orang mana pak ? “ sambil buru – buru meminum teh. Penasaran semanis dan selegit apa sih?. Srupuuut. Gila, rasanya emang beda. Pantas saja kalau Pak Imron langsung pindah haluan. Ini semanis wajahnya selegit senyumanya. Ladalah. Bikin saya tambah srek aja nih.
            “ Pekalongan “
            “ Tinggalnya? “
            “ Di Pesantren Baitul Ridho, abah pemilik yayasan SMP ini. “
            Oboralanku terus berlanjut hingga ke teknis dan jadwal kegiatan untuk memulai pengayaan. Nostalgia terselubung pun terlaksana. Hingga pak Imron lupa akan ngajarnya. Biasa kalau orang yang doyan ngobrol bertemu dengan orang yang doyan ngobrol pula akhirnya buta jam dan tuli waktu.

***
           
            Burung – burung mungil menari menyambut mentari layaknya penari topeng Cirebon menyambut kedatangan para pejabat. Tepukan hangat dan kepakan sayap menyerupa sama membangun kehangatan suasana pagi. Jarum jam membentang separauh jam, ini menunjukan pukul 06.00. saya sudah tak sabar ingin menikmati teh yang manis semanis senyuman dan selegit tatapan mata yang berbalut jilbab. Ini benar – benar menunjukan gadis yang benar tercelup di secangkir the. Memang benar – benar membuat aku memutuskan hubungan lidah dan secangkir kopi hitam.
            Pukul 07.00 tepat. Saya pun tepat berada di depan pintu kantor guru. Hati mulai berantakan, seperti khawatir tapi ingin bertemu dengan gadis itu. Astaga. Ia datang dengan segondol senyumanya. Aduuuh. Bikin gregetan aja nih, tegurku dalam hati. Sedalam – dalamnya, agar tak terdengar oleh siapapun.
            “ pagi mas Mija, silahkan duduk. Ini tehnya “
“ Iya. Makasih “
“ Diminum mas “ sambil menyodorkan secangkir the hangat dengan kepulan asap.
“ Boleh saya mengatakan sesuatu? “
“ Apa ? “
“ Kau adalah gadis yang pertama kali mampu merubah seleraku dari kopi ke teh, karena teh yang kamu buat sangat manis dan legitnya pas. Katanya ini the asli dari pekalongan. Apa benar ? “
Ah… mas ini, semua teh rasanya sama. Yang membedakan adalah bagaimana cara si penyajinya. Iya ini the langsung saya bawa dari Pekalongan, dari pada mubadzir kan mending buat orang – orang yan ada disini seperti mas. Hehehehe “ agak sedikit humor.
“ Tadi mba Ifa bilang, yang membedakanya adalah penyajianya. Itu maksudanya apa? “
“ Ya.. Mas ini, gini toh mas, tak kandani sak etik. Manusia pada dasarnya sama di beri hak, kewajiban, tanggungjawab dan rejeki. Nah yang membedakanya adalah bagaimana manusia itu sendiri menyajikan hidupnya. Ya seperti mas ini menyajikanya dengan tulis menulis. Hehehe… “ lagi – lagi agak sedikit senyum, mengangkat bibir hingga sedikit terlihat putih giginya. Candaan dan obrolan menyatu dengan kepulan asap dan irama detak jarum jam hingga beberapa jam dan berakhir di jam pengayaan.

***

Ini memang benar – benar ada racun candu di teh. Untung saja ia memberiku satu kilo the, ini cukup untuk menemani saya untuk menulis dalam beberapa bulan kedepan. Gadis itu memang benar gadis yang legit untuk dilupakan sangat manis untuk dibuang hingga tak tercapailah semuanya. Ini harus aku jadikan sebuah tulisan, kira – kira jenis tulisan apa? O iya, cerpen. Saya harus menulis sebuah cerpen tentang gadis tersebut. GADIS DALAM SECANGKIR TEH. Ini adalah judul yang tepat. Tak pikir lama aku langsung buka laptopku dan ku tulis cerita pendek tentang gadis itu ku sambungankan prasanku dengan alur yang terjadi pada kenyataanya. Secangkir teh yang penuh pelajaran. Aku belum kepikiran kesitu. Tapi ia menjelaskan begitu gamblang tentang The Power Of Tea. Mudah – mudahan Pak Agung mau menerbitkan Cerpenku ini. Gadis dalam secangkir the. Ku pikat kau dengan sebuah cerpen.
Alhamdulillah. Cerpenya dimuat. Tak perlu tunggu lama aku langsung menyambangi tempatnya. Aku beli beberapa Koran yang memuat cerpenku yang salah satunya akan aku hadiahkan untuk gadis secangkir teh itu.
Nasib berkata lain. Gadis secangkir teh itu pulang ke desa Sengare yang terletak di kecamatan Talun kabupaten Pekalongan dan menurut kabar burung ia tak kembali lagi, karena beberapa hal. Hati dan beberapa sel – sel syarafku meleleh mencair menjadi air mata. Harapan tak seindah kenyataan. Saya kira cerpen ini akan membuat ia terpikat, tapi ternyata aku salah ia pergi sebelum melihat ini semua. Tapi saya tidak pernah kehabisan akal. Aku kirim saja cerpen itu ke alamat rumahnya di Pekalongan. Mudah – mudahan ke baca dan pasti kebaca olehnya. Kalau ia respon, akan KU PINANG KAU DENGAN SEBUH NOVEL.

*Penulis, Ketua Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cirebon, dan penikmat teh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar